Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj, mengumumkan bahwa NU enggan untuk mengusung Negara Islam. Hal ini disampaikan oleh Yahya Cholil Staquf, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PBNU, pada acara “Talks at Google” pada 29 Oktober 2018 di Mountain View, California.
Yahya Cholil Staquf menjabarkan alasan mengapa NU – organisasi Islam terbesar di Indonesia – menolak untuk mengembangkan wacana Negara Islam dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Menurutnya, wacana Negara Islam justru merupakan salah satu pemicu terjadinya terorisme dan kekerasan di Indonesia.
“NU merasa perlu memberikan penjelasan tentang mengapa wacana Negara Islam tidak memiliki tempat di Indonesia dan NU. Karena, wacana Negara Islam sangat dekat dengan gerakan-gerakan terorisme dan kekerasan,” ujar Yahya.
Menurut Yahya, wacana Negara Islam – yang mengusung ideologi Khilafah – telah memicu radikalisasi di kalangan umat Islam di Indonesia. Hal ini karena wacana tersebut menjamin posisi yang eksklusif bagi kaum Muslimin, sehingga mereka merasa lebih superior dari golongan lain dan mengaktualisasikan keyakinan mereka dengan cara-cara kekerasan.
Kepercayaan bahwa Negara Islam akan menjamin kemajuan dan keamanan kaum Muslimin merupakan satu-satunya alasan mengapa gerakan Khilafah tetap bertahan. Padahal, menurut Yahya, Negara Islam hanya akan membawa bahaya bagi masyarakat Indonesia.
“Indonesia adalah negara plural dan multi-etnis. Jika Negara Islam diimplementasikan, maka Indonesia akan terbagi menjadi beberapa kelompok dan keamanan terancam,” tegasnya.
Yahya menambahkan bahwa NU memahami bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, melainkan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu, keberagaman harus tetap dijaga, baik dalam ranah budaya, agama, maupun politik.
“Negara Islam mengabaikan fakta bahwa Islam sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia dan telah beradaptasi dengan budaya dan nilai-nilai lokal. Kita tidak boleh menghancurkan kemajuan yang sudah kita capai,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Yahya menyampaikan bahwa wacana Negara Islam sangat eksklusif dan tidak memberikan ruang bagi kemajuan peradaban. Hal ini karena Negara Islam hanya memiliki satu kebenaran dan cara pandang yang sama, sehingga tidak mendorong munculnya inovasi dan gagasan baru.
“NU merasa bahwa tolak ukur kemajuan sebuah negara bukan pada seberapa konsisten negara tersebut dalam menerapkan wacana agama tertentu, melainkan pada kemampuan dalam memajukan peradaban. Negara Islam sangat membatasi kemajuan peradaban,” ujar Yahya.
Karenanya, NU dan pemerintah Indonesia menolak untuk mengusung Negara Islam dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945, karena hal itu hanya akan membahayakan keamanan dan kemajuan Indonesia ke depannya. Yahya berharap, semua pihak dapat memahami bahwa Islam dapat hidup berdampingan dengan nilai-nilai Pancasila dan keberagaman budaya Indonesia.
“Kita tidak bisa membersihkan dunia dari kekerasan dan radikalisme hanya dengan mengandalkan taktik keamanan. Kita harus mengatasinya dengan cara memberikan pemahaman yang benar terhadap agama dan kebudayaan,” tutup Yahya.